II. Pernikahan
Kebanyakan sejarawan percaya bahwa yang menyampaikan lamaran
Khadijah kepada Nabi ialah Nafsiah binti ‘Aliyah sebagai berikut:
“Wahai Muhammad! Katakan terus terang, apa sesungguhnya
yang menjadi penghalang bagimu untuk memasuki kehidupan rumah tangga? Kukira
usiamu sudah cukup dewasa!†Apakah
anda akan menyambut dengan senang hati jika saya mengundang Anda kepada
kecantikan, kekayaan, keanggunan, dan kehormatan ?â€
Nabi menjawab,â€Apa maksud Anda?†Ia lalu menyebut Khodijah. Nabi lalu berkata,†Apakah Khodijah siap untuk itu, padahal dunia saya dan
dunianya jauh berbeda?†Nafsiah berujar “Saya
mendapat kepercayaan dari dia, dan akan membuat dia setuju. Anda perlu
menetapkan tanggal perkawinan agar walinya (‘Amar bin Asad) dapat mendampingi
Anda beserta handai tolan Anda, dan upacara perkawinan dan perayaan dapat
diselenggarakan".
Kemudian Muhammad membicarakan hal ini kepada pamannya yang
mulia, Abu Tholib. Pesta yang agung pun diselenggarakan, sang paman yang mulia
ini menyampaikan pidato, mengaitkannya dengan puji syukur kepada Tuhan. Tentang
keponakannya, ia berkata demikian, “Keponakan saya Muhammad bin ‘Abdullah
lebih utama daripada siapapun di kalangan Quraisy. Kendati tidak berharta,
kekayaan adalah bayangan yang berlalu, tetapi asal usul dan silsilah adalah
permanen".
Waraqah, paman Khodijah, tampil dan mengatakan sambutannya,
“Tak ada orang Quraisy yang membantah kelebihan Anda. Kami sangat ingin
memegang tali kebangsawanan Anda.†Upacara
pun dilaksanakan. Mahar ditetapkan empat puluh dinar-ada yang mengatakan dua
puluh ekor unta.
Sang bintang sekarang mulai dewasa, ia mempunyai seorang
istri yang begitu lengkap kemuliaannya, dari perkawinan ini Khodijah melahirkan
enam orang anak, dua putra, Qasim, dan Abdulah, yang dipanggil At-Thayyib, dan
At-Thahir. Tiga orang putrinya masing-masing Ruqayyah, Zainab, Ummu Kaltsum,
dan Fatimah. Kedua anak laki-lakinya meninggal sebelum Muhammad diutus menjadi
Rosul.
Ketika umur sang bintang mulai menginjak 35 tahun, banjir
dahsyat mengalir dari gunung ke Ka’bah. Akibatnya, tak satu pun rumah di
Makah selamat dari kerusakan. Dinding ka’bah mengalami kerusakan. Orang
Quraisy memutuskan untuk membangun Ka’bah tapi takut membongkarnya. Walid bin
Mughirah, orang pertama yang mengambil linggis, meruntuhkan dua pilar tempat
suci tersebut. Ia merasa takut dan gugup. Orang Mekah menanti jatuhnya sesuatu,
tapi ketika ternyata Walid tidak menjadi sasaran kemarahan berhala, mereka pun
yakin bahwa tindakannya telah mendapatkan persetujuan Dewa. Mereka semua lalu
ikut bergabung meruntuhkan bangunan itu. Pada saat pembangunan kembali
ka’bah, diberitahukan pada semua pihak sebagai berikut, “Dalam pembangunan
kembali Ka’bah, yang dinafkahkan hanyalah kekayaan yang diperoleh secara
halal. Uang yang diperoleh lewat cara-cara haram atau melalui suap dan
pemerasan, tak boleh dibelanjakan untuk tujuan ini.â€
Terlihat bahwa ini adalah ajaran para Nabi, dan mereka mengetahui tentang
kekayaan yang diperoleh secara tidak halal, tetapi kenapa mereka masih
melakukan hal demikian, inipun terjadi di zaman ini, di Indonesia, rakyat
ataupun pemerintahnya mengetahui tentang halal dan haramnya suatu harta
kekayaan atau pun perbuatan yang salah dan benar, tapi mereka masih saja
melakukan perbuatan itu walaupun tahu itu adalah salah.
Mari kita kembali lagi menuju Mekah, ketika dinding ka’bah
telah dibangun dalam batas ketinggian tertentu, tiba saatnya untuk pemasangan
Hajar Aswad pada tempatnya. Pada tahap ini, muncul perselisihan di kalangan
pemimpin suku. Masing-masing suku merasa bahwa tidak ada suku yang lain yang
pantas melakukan perbuatan yang mulia ini kecuali sukunya sendiri. Karena hal
ini, maka pekerjaan konstruksi tertunda lima hari. Masalah mencapai tahap
kritis, akhirnya seorang tua yang disegani di antara Quraisy, Abu Umayyah bin
Mughirah Makhzumi, mengumpulkan para pemimpin Quraisy seraya berkata,â€Terimalah sebagai wasit orang pertama yang masuk melalui Pintu
Shafa.†(buku lain mencatat Bab as-salam).
Semua menyetujui gagasan ini. Tiba-tiba Muhammad muncul dari pintu. Serempak
mereka berseru, “Itu Muhammad, al-Amin. Kita setuju ia menjadi wasit!â€
Untuk menyelesaikan pertikaian itu, Nabi meminta mereka
menyediakan selembar kain. Beliau meletakkan Hajar Aswad di atas kain itu
dengan tangannya sendiri, kemudian meminta tiap orang dari empat sesepuh Mekah
memegang setiap sudut kain itu. Ketika Hajar Aswad sudah diangkat ke dekat
pilar, Nabi meletakkannya pada tempatnya dengan tangannya sendiri. Dengan cara
ini, beliau berhasil mengakhiri pertikaian Quraisy yang hampir pecah menjadi
peristiwa berdarah.
Tuhan, Sang Maha Konsep sudah membuat konsep tentang semua
ini, tanda-tanda seorang bintang telah banyak ia tampakkan pada diri Muhammad,
dari batinnya yang mulia sampai pada bentuk lahirnya yang indah. Kesabaran yang
diabadikan di dalam Kitab suci menjadi bukti yang tak terbantahkan, bahwa ia
adalah manusia sempurna, dalam wujud lahiriah (penampakan), maupun batinnya.
Tidak setitik cela apalagi kesalahan selama hidupnya, Sang Maha Konsep
benar-benar telah mengonsepnya menjadi manusia ‘ilahi’. Al-Amin telah
dikenal oleh masyarakat Mekah, sebagai manusia mulia, sebagai manifestasi wujud
kejujuran mutlak. Sebelum pengutusannya menjadi Rosul, Muhammad selalu
mengamati tanda kekuasaan Tuhan, dan mengkajinya secara mendalam, terutama
mengamati keindahan, kekuasaan, dan ciptaan Allah dalam segala wujud. Beliau
selalu melakukan telaah mendalam terhadap langit, bumi dan isinya. Beliau
selalu mengamati masyarakatnya yang rusak, dan hancur, beliau mempunyai tugas
untuk menghancurkan segala bentuk pemberhalaan. Apalah kiranya yang membuat
masyarakatnya seperti ini, ia mengembalikan semua ini kepada Tuhan, yang
menurutnya tak mungkin sama dengan manusia.
Gunung Hira, puncaknya dapat dicapai kurang lebih setengah
jam, gua ini adalah saksi atas peristiwa menyangkut “sahabat karibâ€-nya (Muhammad), gua ini menjadi saksi bisu tentang wahyu, dan
seakan-akan ia ingin berkata,â€
disinilah dulu anak Hasyim itu tinggal, yang selalu kalian sebut-sebut,
disinilah ia diangkat menjadi Rosul, disinilah Al-Furqon pertama kali
dibacakan, wahai manusia, bukankah aku telah mengatakannya, kalianlah (manusia)
yang tak mau menengarkannya, kalian menutup telinga kalian rapat-rapat, dan
menertawakanku, sedangkan sebagian dari kalian hanya menjadikan aku sebagai
museum sejarah.“kata saksi bisu.
0 comments:
Post a Comment